Kamis, 23 Juni 2016

Hidup, Cinta, dan Lomba Lari



          Seperti kata mu, aku pintar, brilian, jenius tetapi sekarang aku jadi malas dan bodoh. Kau tak perlu menyalahkan dirimu akan semua ini. Kamu bukan lah pengaruh buruk buatku. Bukan! tapi aku yang sengaja melambat untuk sekedar bisa menyapa mu. Sekedar menghabiskan waktu bersama sepanjang kita berlari.
          Tanpa kusadari, semua orang telah berlari melewati kita. Bahkan aku menjadi peringkat terakhir dikalangan para pria. Aku mulai bersedih dan marah pada diriku sendiri. Aku hanya bisa melihatmu dengan wajah penuh malu akan ketidaksanggupanku dalam berlari.
          Aku mulai memarahi mu yang berjalan lambat,
          “Ayolah kita bisa kalah, kita bisa telat kalau seperti ini terus.”
          Emosi ku mulai meningkat, sejalannya waktu. Aku mulai marah tak karuan hingga serasa pengen menyerah. Kutarik tangan mu dan mulai berteriak.
          “Ayo, cepat kita bisa kalah.”
          “Kamu bisa lari sendiri kalau mau. Aku nggak bisa ngikutin kamu terus. Aku punya jalan sendiri.” Jawabmu dengan tegas.
          Aku sempat sedih, mendengarmu berkata seperti itu. Kau tak menghargai usahaku selama ini. Kau tak menghargai pengorbanan ku selama ini. Aku merelakan segala nya bahkan piala di depan mata udah ku korban kan demi dirimu.
          Tapi kamu pun melirik dengan senyuman manismu dan berkata
“Semangat, kamu bisa lari sendiri.” J
Aku sadar, selama kita jalan berdua aku selalu mengikuti mu. Sebagai orang bertinggi 176 cm, lari ku lumayan cepat dibanding orang lain. Dan kamu tak pernah mengikuti lari ku yang cepat ini melainkan aku yang selalu mengikuti kecepatan lari mu.
          Mungkin terdengar lucu, aku sempat kepikiran bahwa. Sudah seharusnya kita jalan terpisah agar kemampuan jalan kita maksimal. Bukan karena aku tak ingin berjalan bersama mu. Dan bukan juga bukan karena aku ingin meninggalkan mu. Tapi aku ingin mempersiapkan tempat istirahat yang layak untuk mu di finish nanti. :)

#Rico_Alandra

Selasa, 26 Januari 2016

Rico dan Rahmat – Ngomongin Tai



          Sebenarnya judul nya agak absurd sih.
“Judul nya nggak diubah aja nih, mat?”
          “Kagak perlu, itu judulnya udah bagus kok. Nggak usah jaga image, semua orang udah tau loe hina banget.”
          “Anjir.”
          Oke, ini kisah gue dan Rahmat. Sebelumnya terima kasih telah membaca cerita ini dan maaf jika anda merasa tersinggung. Karena sebenarnya gue nggak bermaksud menyinggung siapapun disini.
          Nah loe semua tau tentang t*i kan?
          “Loe ngapain sih, Rico?”
          “Nulis cerpen, kampret.”
          “Bukan itu maksud gue. Loe ngapain sensor tulisan tai nya?”
          “Kan biar lebih sopan, bego. Biar nggak ada yang tersinggung.”
          “Lah emang tersinggung kenapa? Coba loe pikir lagi. Loe tiap hari mungkin boker dan pasti lihat tai. Semua orang juga pasti pernah lihat tai. Loe buat apa tersinggung dengan kata – kata tai. Sedangkan loe dan yang lain nya juga menghasilkan tai kan?”
          “Benar juga tuh, sumpah loe pintar banget Mat.”
          “Itu kata – kata ahok, baru aja aku nonton stand up nya.”
          “Oh, yang cerita tentang sama Haji Lulung kan? Yang rambutnya seperti Ismail Bin Mail. Eh, kok gua jadi ngomongin Haji Lulung gini, udah sana. Gue mau lanjut nulis lagi nih.”
          Nah jadi gini, awal dari percakapan kami bermulai saat gue dan Rahmat abis pulang belanja di supermarket di suatu malam. Nah kami berdua naik motor nih, btw itu gue yang bawa motor. Kemudian kami lewat di sebuah jalan besar dan biasanya kalau malam, banyak banget pedagang yang membuka warung di trotoar. Suasana nya terlihat ramai banget, banyak motor dan mobil parkir di pinggir jalan dan membuat ruas jalan makin sempit.
          Kejadian yang paling absurd dimulai saat gue dan Rahmat berhenti tepat di lampu merah. Posisi kami tuh menepi ke kiri jalan dekat sebuah warung tenda bernama tora – tora. Disitu banyak sekali yang makan dan lagi duduk di trotoar jarak kami dengan yang makan mungkin sekitar 2 – 3 meter. Dan tanpa merasa bersalah, Rahmat berkomentar dengan lantang.
          “Kok bau tai burung yah?”
          Itu semua yang ada di sana pada akward. Gue akward, pedagang nya akward, dan pengunjung nya juga akward. Dan Rahmat masih tak merasa bersalah. Setelah kita berdua melewati lampu merah itu. Gue langsung ngakak dan Rahmat masih terlihat bego dengan muka tak bersalah nya. Dan sekian lama berpikir, akhirnya Rahmat sadar juga.
          Dan tebak apa yang kami lakukan? Kami meletakkan barang belanjaan kami ke rumah. Dan melakukan hal yang sama berulang – ulang kali.
          “Kok bau tai kucing yah?”
          “Kok bau tai burung yah?”
          Sampai akhirnya kami capek tertawa terbahak – bahak dimalam itu.
          “Gini doank cerita nya?”
          “Emang mau gimana lagi, Mat?”
          “Kalau buat cerita tuh harus menarik donk. Yang keren. Tambah fantasy atau action sedikit dalam cerita loe. Seperti gue lempar – lemparan tai dengan pedagang warung nya. Atau tiba – tiba ada monster tai yang muncul dan pengen menguasai dunia. Buat yang seru donk, atau agak romance githu.”
          “Romance? Terus gue harus ganti judulnya jadi ‘Fifty Shade Of Shit’? atau ‘Romeo shit Juliet’?”
          Udah lah, gue nggak mau nulis lagi omongan dia. Kita sudahi aja yah sampai disini. Bye……..
#Rico Alandra

Senin, 31 Agustus 2015

Kisah seekor tikus – Asal mula tikus penyet di jalan (-o-)



            Pernah nggak kalian melihat ada seekor tikus yang terlindas mati di jalan. Biasanya sih merupakan seekor tikus got dan pemandangan ini bahkan sering sekali terlihat. Dan kemudian saya berpikikir untuk mengarang asal-usul kenapa selalu aja ada seekor tikus dengan bodohnya bisa terlindas di jalan.
            Baiklah kita mulai aja, dari perkenalkan pada zaman yang tidak terlalu dahulu ada seekor tikus sebut saja “Engkus”, biar nyambung aja. Suatu ketika ia sedang bermain bersama teman-temannya di pinggir selokan. Yah kita tau bahwa mereka tak ingin terlihat oleh manusia jadi pasti mereka bermain saat malam hari. Hmm, terus mereka memainkan apa yah? Abisnya di Indonesia terlalu banyak Pamali lah, Bumali lah. Hufftt. Mau main petak umpet, pasti akan terdengar celoteh “ntar kalau ada yang hilang gimana?”, “ntar disembunyiin sama setan”. Yah terserah deh, mau main kejar-kejaran, “nanti capek”, “nanti pas tidur, kakinya gelisah”. -_- Terus main apa? Yah udah, anggap mereka lagi taruhan apa kek githu. “Tapi kan berjudi itu haram”. Kampret, ini cerita gue jangan di ganggu. Akhirnya tikus yang banyak bicara itu mati akibat disumpel mulutnya dengan racun tikus oleh sang penulis.
            Tunggu, cerita nya belum selesai. Ketika mereka sedang taruhan, Engkus ditantang oleh temannya.
            “Kus, kami berani nggak berdiri ditengah jalan situ?” Tanya si Tono, udah anggap aja namanya Tono.
            “Nggak ah, kan kata mama nggak boleh main di jalan, berbahaya.” Jawab si Engkus sambil menggurui.
            “Ah, cemen loe. Masa gitu aja nggak berani.” Ejek si Tono
            “Emang kamu berani?” Tanya si Engkus meragukan.
            “Berani kok. Lihat yah.” Tono pun berjalan dengan semangat ke tengah jalan melihat ke kanan dan kiri lalu berdiri dengan bangga di tengah jalan.
            “Lihat Engkus, aku beranikan.” Teriak Tono sombong dari tengah jalan.
            “Oke, aku percaya. Ayo cepat balik, Ton. Ntar ada kendaraan lewat.” Jawab Engkus khawatir. Kemudian tikus-tikus lainnya datang dan meneriaki nama “Tono”, ia dipuja seperti pahlawan karena telah berani melakukan hal tersebut.
            “Tono, Tono, Tono. Ayo Tono, kamu keren banget.” Terdengar dari salah satu tikus yang berteriak. Tono yang saat itu besar kepala, memilih diam dan tak mendengar kata-kata Engkus. Ia sangat menikmati tiap detiknya dipuja oleh tikus-tikus lainnya. Tiba-tiba, terdengar suara motor yang sangat keras. Ban motor tersebut terlihat sangat besar oleh Tono. Ia tak mampu menghindari ban motor yang telah begitu dekat dengan diri nya. Dan kemudian “SPLASSSHHH”, Tono pun tergilas oleh ban motor dengan segala kesombongan serta keras kepalanya. Hal ini pun tak menjadi pelajaran buat tikus-tikus yang lain. Bahkan semakin banyak tikus-tikus lain yang sombong dan tak belajar dari kesalahan Tono dan menganggap bahwa Tono hanya lagi kurang beruntung. Dan akhirnya menyusul Tono menghadap ke sang pencipta. Terus gimana dengan Engkus? Dia hidup bahagia dengan wanita yang dipilihnya bersama dengan anak-anak tercintanya. Dia mengajari agar anak-anaknya agar tak sombong dan selalu mendengar nasehat orang lain. Nggak nyambung? Yah udah, namanya juga cerita ngawur. Hahaha, cukup sekian dan terima kasih. :D
#Rico Alandra